Di Sudut Kota Surabaya

“Apa kabar?” sapanya ramah.

Gadis ini benar-benar luar biasa. Abdi masih hafal betul, bagaimana rambut, kulit, bibir tipis, dan bentuk tubuhnya. Sempurna, ujarnya dalam hati.

” Sebaik kupu-kupu yang bersantai di kelopak bunga sepatu,” jawab Alle gemas.” Kamu?”

” Saya?” Abdi mengangkat bahu sambil menjawab, ” sebingung anak kecil yang dipaksa mengerti naskah-naskah seorang sufi.”

Abdi menatapnya. Gadis ini masih sama cantik, seperti pertemuan mereka berdua di pesta minggu kemarin. Berbeda dengan saat itu, kali ini dirinya dapat melihat semua keindahan wajah Alle dengan jelas. Begitupun dengan suaranya, empuk dan merdu seperti Zooey Deschanel.

“Ada apa ke Surabaya?” Abdi bertanya,” jangan bilang bahwa kamu merupakan salah satu penganut sekte rockstar itu. Ikut kemana pun tuhannya pergi.”

Alle tertawa cekikikan mendengar pertanyaan tersebut, dan Abdi dapat jelas melihat senyumnya. Menurutnya, senyum Alle jauh lebih ajaib daripada sihir mahluk seram di dalam mimpinya yang kemarin.

“Bagiku, dia hanya seorang penghibur di sela-sela jamuan makan kerajaan, tidak ada yang istimewa,” jelas gadis tersebut.

Memiringkan wajah, memandang Abdi seperti seseorang yang sangat dirindukan karena sudah lama tidak bertemu.

Lalu lanjutnya, “Entah kenapa, kemarin waktu menumpang kereta kuda milik cinderella, aku diturunkan begitu saja di sudut kota ini.”

Abdi menyentuh cangkirnya, mengangguk-anggukan kepala saat mengaduk kopi tersebut. Seperti merasa sangat lega. Ia rindu melakukan pembicaraan normal dengan orang yang juga normal. Iya, yang seperti ini.

” Lalu? Kereta kuda siapa yang kamu tumpangi? Sampai bisa terdampar juga di kota ini,” Alle balik bertanya.

Abdi terdiam. Sejenak memikirkan apa yang dapat mendeskripsikan seluruh perjalanan ini.

“Bukan kereta kuda,” jawabnya sambil mulai menyruput kopi hangat tersebut. ” Tapi rombongan sirkusnya Phineas Barnum.”

“Barnumnya The Greatest Showman?” Tanya Alle lagi, diakhiri dengan tawa yang sangat imut.

“Ya. sebuah gerombolan yang aneh dan gila,” jelas Abdi lagi.

Kemudian seperti baru teringat akan sesuatu, ia bertanya “dan sepertinya kita belum berkenalan dengan normalkan? Atau kamu tidak perlu tahu nama saya.”

“Namamu sudah diukir indah pada badan pohon besar di halaman rumahku,” balas gadis itu manja.” Abdi kan?”

“Diukir di badan pohon? Seperti puisi Lennon kepada Yoko Ono?” Abdi penasaran.”Apa gerangan yang membuat nama itu cukup pantas sampai bisa terukir di sana?”

“Seorang peri memberitahuku sepuluh tahun yang lalu. Layaknya seperti gadis kecil yang dibocorkan siapa nama pangerannya nanti, aku sendirilah yang mengukir setiap hurufnya,” Alle menjawab sambil mengelus-elus leher dengan telunjuk lentiknya, “Kamu juga pasti sudah hafal semua lekuk huruf namaku kan?”

Abdi tertawa. Alle tertawa. Kemudian keduanya tertawa. Lalu terdiam selama hampir sepuluh menit. Mereka berdua tidak tahu harus membahas apa.

“Nanti malam kemana?” Alle mencoba untuk memulai topik pembicaraan baru.

“Gak tau,” geleng Abdi.

“Mencari kunang-kunang yuk?”

“Dimana?”

“Gak tau.”

Abdi dan Alle tertawa lagi, di sebuah sudut kota Surabaya.

22 Comments Add yours

  1. wisnuwidiarta berkata:

    Rakha, kamu ke mana saja sih? Sudah lama aku mencari tulisan seperti ini. Kenapa baru sekarang kamu muncul???

    Disukai oleh 1 orang

    1. Rakha berkata:

      Ikut sesi ‘godokan’ di kawah candradimuka mas. Hehe.. padahal saya ngikutin mas wisnu loh di quora. 😁

      Disukai oleh 1 orang

      1. wisnuwidiarta berkata:

        Profile Quoranya yang mana? Rakha Aditya ada dua..

        Suka

      2. Rakha berkata:

        Rakha Adhitya mas.

        Suka

  2. Ramdziana berkata:

    Bagus banget. Salam kenal, Bang! 😀

    Disukai oleh 2 orang

    1. Rakha berkata:

      Terima kasih. Salam kenal juga Bung.

      Disukai oleh 1 orang

  3. jessmite berkata:

    Kenapa ceritanya semua pada numpang?

    Disukai oleh 2 orang

    1. Rakha berkata:

      Karena tidak punya kendaraan sendiri. 😊

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar