Malah Buntung

Setelah melalui proses negosiasi hebat, akhirnya hari ini aku bisa bertemu dengan sang waktu. Sosok misterius yang begitu aku benci. Sosok yang menjadi penyebab dari seluruh derita panjangku di dunia.

Ia sedang duduk di sebuah kursi malas, memandang ke arah jendela, hanya ditemani oleh secangkir teh. Berpakaian setelan formal, hampir mirip dengan yang dipakai oleh Rowan Atkinson di serial TV yang legendaris itu.

Posturnya tidak berbeda dengan figur lelaki Asia kebanyakan, meski ia sudah tampak begitu tua. Tubuhnya terlihat sangat ringkih seperti seorang lansia yang sedang menunggu ajalnya sendiri.

Kudekati dengan sangat perlahan. Saat ini, ingin sekali kuludahi wajah lalu mencekik lehernya yang renta. Meninggalkannya mati seorang diri, seperti yang sudah ia lakukan pada banyak manusia di Bumi.

“Ada apa anak muda?” Tanpa menengok ke arahku, ia sudah mulai bertanya sebagai pengganti sapa.

“Aku ingin bertanya lebih dulu,” jawabku saat kaki ini berhenti tepat di sebelahnya.

Dari titik ini, aku dapat melihat rambut kepalanya yang sudah sangat tipis dan segala garis keriput wajah yang aku yakin penuh dengan kutuk. Walau aku harus sedikit terkejut, karena sosok ini sama sekali tidak berbau.

“Bertanya kepada waktu.” Ia tertawa dengan nada yang melecehkan. “Hal absurd apa lagi ini?”

Aku tidak peduli jika si bajingan ini menertawakan kedatanganku ke sini. Bahkan aku sama sekali tidak tersinggung dengan nada tawanya itu. Aku punya sebuah misi. Misi yang harus segera tergenapi.

“Apa kau bisa mempercepat waktu untukku?”

Ia hanya terdiam lalu meneguk tehnya santai.

Kemudian aku bertanya lagi, “dapatkah kau melampaukan waktu?”

Perlahan, ia mulai menatapku jauh lebih dalam dari ribuan pasang mata yang pernah bertemu denganku di dunia.

“Sudah dua kali aku penuhi permintaanmu barusan. Tapi belum juga kau jawab pertanyaan lelaki tua ini. Apa maksud kedatanganmu kemari?”

Sebenarnya aku tidak bisa percaya begitu saja, bahwa ia tadi telah mempercepat waktu dan mengembalikannya lagi. Tapi hanya ini pilihan yang kupunya.

“Aku ingin kau mengembalikanku ke masa remaja dulu. Agar aku dapat mengulang dan memperbaiki kehidupanku ini.”

Ia tertawa dengan sangat keras. Berbeda dengan tawa yang sebelumnya, tawanya yang kali ini layaknya seorang yang duduk di barisan depan pertunjukan lawak Srimulat. Ia sudah sangat jelas telah menganggap kedatanganku ini sebagai lelucon dengan punchline yang super kocak.

“Aku disebut dengan banyak sekali nama.” Sang waktu mulai menjelaskan sambil kembali menatap ke jendela. “Dan dari setiap nama itu, tidak ada satu pun yang menjadi kepunyaanku sendiri.”

“Apa maksudnya?”

“Aku hanyalah sebuah julukan. Sebuah satuan untuk mengukur rotasi dan revolusi Bumi. Aku tidaklah berbeda dengan kilogram, liter, atau juga are.”

Terdiam sejenak, menggaruk telapak kanannya kemudian lanjutnya, “Kalian. Manusia. Memang gemar sekali mencari kambing hitam. Tentang usia, rencana atau bahkan perihal kehidupan kalian sendiri. Padahal aku, siapapun atau apapun sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan itu semua.”

Diakhirilah penjelasannya dengan sebuah pertanyaan yang sangat-sangat menohok. “Jika siklus dari semua benda semesta usai, jika sel tubuh manusia terus melakukan regenerasi, akankah aku ini perlu disebutkan lagi ?”

Aku mulai menelan ludahku sendiri. “Jadi maksudnya kau tidak bisa membuatku untuk mengulangi waktu?”

Ia membuka kedua tangannya, seakan-akan berisyarat bahwa permintaanku barusan, berada jauh di luar kuasanya.

“Lalu kenapa kau bisa ada di hadapanku sekarang?” Aku tidak mau begitu saja termakan oleh omongannya. Aku juga tidak ingin bahwa semua yang telah kukorbankan kemarin menjadi hal yang percuma. “Kalau kau ini bukanlah sesuatu yang nyata?”

“Coba ingatlah lagi, dengan siapa kemarin kau bertransaksi.” Ia memandangku dengan ekspresi penasaran. “Bukankah iblis memang gemar sekali berilusi?”

Aku menarik nafas panjang sambil menutup kedua mata. Kumaki hari kelahiran dan setiap detik dari kehidupanku. Bagaimana bisa aku menjadi begitu bodoh seperti ini. Berkoalisi dengan iblis agar dapat mengulangi waktu.

Ketika kubuka mata, pria tua tersebut sudah tepat berdiri di hadapan lalu kemudian bertanya, “Apa yang telah kau jual untuk dapat bertemu denganku?”

“Kehidupan sialku ini.”

Tanpa sadar, kupeluk tubuh pria ringkih itu erat sekali. Sama sekali tidak menyangka, bahwa tubuh renta itu ternyata dapat memberikan rasa nyaman yang luar biasa.

Walau pada nantinya aku pun sadar, bahwa yang kupeluk sekarang adalah si iblis jahanam itu sendiri.

1 Comments Add yours

Tinggalkan komentar