Ulasan: Laut Bercerita

“Matilah, engkau mati.

Kau akan lahir berkali-kali. “

Laut Bercerita bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Buat saya, Laut Bercerita adalah novel yang indah, menakjubkan, mempesona dan segala diksi bermakna positif yang cocok disematan kepada sebuah karya tulis. Novel yang amat layak diletakkan dalam daftar literasi klasik Indonesia. Sedangkan penulisnya, Ibu Leila S. Chudori sudah barang pasti merupakan salah satu penulis terbaik yang negeri ini miliki.

Novel yang saya rekomendasikan kepada semua orang dewasa yang dapat membaca dan berbahasa Indonesia, terutama adik-adik Gen Z yang tidak sempat menjadi saksi bagaimana terbatasnya hidup pada rezim Orde Baru. Bagaimana represif dan opresifnya penguasa kala itu.

Serius, dengarkan saya, tolong jangan dulu mati sebelum membaca Laut Bercerita.


Buku setebal hampir empat ratus halaman ini dibagi oleh dua ruh yang tak sama namun senyawa. Masing-masing ruh akan menawarkan rasa serta pengalaman yang membentuk debur-debur ombak, yang satu dominan di kepala sedang yang lainnya menghajar dada. Edan!

Yang pertama, kita akan diajak buat menemani Biru Laut. Seorang penggila Sastra, pendengar The Beatles yang kemudian tergerak untuk bertumbuh menjadi seorang aktivis. Pada bagian ini para pembaca akan memakai kacamata dari seorang idealis yang cenderung naif.

Dari lembaran pertama pun saya sudah merasa iri dengan keahlian Ibu Leila meramu narasi. Saya seolah berada dekat sekali dengan sang protagonis. Seolah makan siang di meja yang sama dengan Kinan atau duduk di lantai menyaksikan Anjani melukis Sinta yang menyelamatkan Rama. Namun ini juga artinya, saya pun merasa seperti berada di barisan sel yang sama dengan Alex, Daniel, Naratama dan kawan-kawan Winatra lainnya.

Ruh yang ini lebih memaksa saya jadi memutar otak. Coba mencocokkan timeline novel dengan catatan sejarah perjuangan reformasi. Ikut pula menebak-nebak siapakah pengkhianatnya di antara mereka. Juga beberapa kali menarik nafas yang panjang, membayangkan bagaimana kawan-kawan ini diburu, diculik, disekap, disiksa kemudian dihilangkan.

Bagian kedua, saya dihadirkan buat menemani seorang Asmara Jati. Adik perempuan dari Biru Laut. Seorang dokter muda yang harus menghadapi kedua orang tua yang menjebak diri mereka dalam kenangan, dalam sebuah semesta di mana anaknya tidak pernah hilang.

Saya bukanlah orang yang sensitif, namun jujur saja, saya sempat harus berhenti beberapa kali ketika mengikuti point of view dari Asmara. Ada getir yang amat sangat yang disuapkan buat para pembaca. Agoni yang tidak pernah dan tidak ingin saya alami. Pilu para orang tua yang menanti kepastian nasib dari anak-anak mereka. Duka yang mengubah gaya hidup, perilaku, juga penampilan mereka yang menanti para kekasihnya pulang.

Bagian akhir ini pun membuat saya jadi dapat lebih berempati dan hormat lagi kepada mereka yang rutin berdiri di depan Istana setiap hari Kamis. Mengenakan pakaian hitam-hitam. Bernyanyi dan berpuisi. Menuntut negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.


Novel ini fiksi, tapi saya tidak akan meragukan riset yang dilakukan oleh Leila S. Chudori untuk membangun kisah. Meski Laut Bercerita adalah penciptaan fiktif jagat baru, tapi semuanya terinspirasi dari kisah para penyintas kebiadaban Orde Baru, aktivis-aktivis yang diburu dan diculik pada tahun 1998.

Ya, sudah, buat yang belum pernah membaca Laut Bercerita, silakan untuk membeli atau meminjam buku ini. Kemudian pesan saya, luangkan waktu yang khusus untuknya. Novel ini bukan bacaan yang pantas dibaca ketika sedang menunggu antrian, atau hanya sekedar buat killing time di perjalanan.

Duduk di pojokan yang paling nyaman, temani diri dengan secangkir teh hangat, mainkan lagu-lagu Joan Baez dengan volume yang amat lambat, kemudian mulailah meresapi setiap katanya.


Sekian dari saya dan terima kasih telah membaca.

2 Comments Add yours

  1. lazione budy berkata:

    Sudah baca Pulang dan Laut Bercerita, cara penyampaian kurang ok. Ketika berganti sudut pandang, feel-nya sama padahal beda orang. Keduanya so so… maaf

    Disukai oleh 1 orang

  2. ainunisnaeni berkata:

    aku belum membaca karya bu Leila tapi penasaran juga
    Pas ngeliat di toko buku dan bukunya yang tebal, rasanya udah ga yakin bisa membaca sampai tuntas

    apalagi di buku ini, pembaca diajak “flashback” gitu ya dan cerita yang diangkat memang ga biasa

    Disukai oleh 2 orang

Tinggalkan komentar