Di luar, matahari utara kota Bandung masih malu untuk menjenguk bumi. Embun pagi pun masih sibuk hilir mudik membasahi dedaunan.
Sepertinya tidak ada yang berkeberatan bila matahari, khusus di hari ini datang terlambat. Walau begitu, burung-burung gereja sudah asik bernyanyi dan bubuk kopi atau juga teh sudah siap berendam di secangkir air yang hangat.
Lain lagi dengan Anggara, yang tentu saja langsung dalam keadaan pengar luar biasa akibat pesta liar semalam. Masih dalam posisi tidur, memijit keningnya sambil mengeluh dan mencoba mengingat apa saja yang telah terjadi semalam. Setelah tenggakan ketujuhnya yang kemarin, ia sudah tak sadarkan diri.
Bahkan ia tidak tau siapa yang telah mengantarkannya pulang. Ia menarik nafasnya dengan panjang, memilih lebih baik untuk menyerah saja. Sepertinya, ia juga tidak perlu mengingat kejadian-kejadian semalam.
Pandangannya kemudian lekas jatuh pada tanggal yang ditampilkan oleh kalender digitalnya. Tanggal yang ia rasa hadir terlalu cepat. Atau mungkin, ia saja yang terlalu lambat berpacu dengan roda waktu.
Ia amat sadar bahwa hari ini adalah hari terakhir Siska di Bandung. Semalam adalah kala terakhir Anggara dapat melihat wajah tirusnya. Sore nanti, gadis itu akan terbang menuju Milan, melanjutkan masa mudanya di negeri pizza.
Bekerja sebagai anak magang di sebuah pabrik mode. Menghabiskan waktu bersama teman-teman kerjanya yang baru. Dan sepertinya sih, tidak akan butuh waktu lama bagi gadis seperti Siska, untuk menggaet seorang pria mediterania.
Sudah dua tahun belakangan, Anggara memendam rasa pada gadis yang satu ini. Tapi apa boleh buat, hal itu sudah jelas akan selalu dikubur mati dalam bayang-bayang penyesalannya sendiri.
Ada banyak moment sebenarnya, di mana ia bisa jujur mengungkapkan apa pun kepada pujaannya itu. Tapi entahlah, lidah itu seakan kelu setiap kali Siska menyebut namanya.
Dan semalam adalah kesempatan terakhir Anggara. Tapi yang ada, ia malah memutuskan mabuk, yang alhasil tidak sadarkan diri di pesta perpisahan Siska.
Anggara memejamkan mata, membayangkan bagaimana caranya untuk lupa kepada Siska. Italia berjarak ribuan kilometer dari sini. Orang tua dulu memang bilang, bahwa banyak jalan menuju ke Roma. Tapi mereka rasanya belum tau, bagaimana kalau menuju Milan.
Tiba-tiba, ia begitu terperanjat ketika mendengar suara seorang gadis, yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi.
“Ngga, maaf aku gak bisa nemenin sarapan ya. Aku harus langsung pulang lalu bergegas berangkat ke Sukarno Hatta.”
Anggara tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Siska, gadis pujaannya itu, saat ini sedang bercermin, merapikan diri di dalam kamarnya. Lalu tak lama, gadis itu berbalik, berjalan mendekatinya kemudian mengecup bibir kaku Anggara dengan lembut.
“Terima kasih atas kenangan indahnya semalam,” ucap Siska terakhir sebelum melangkah pergi.
Saat itu juga, ada satu hal yang tidak mungkin terlupakan di sepanjang hidup seorang Anggara. Ia akhirnya mengerti, bagaimana rasanya menjadi pria yang paling bodoh di muka bumi.
Sebenarnya belum terlambat, jika mau mengantar dan berterusterang kepada sang pujaan sepanjang jalan sebelum ke bandara ๐ hehehehe..
SukaDisukai oleh 1 orang
Sayangnya Anggara adalah seorang yang membutuhkan waktu cukup lama, untuk mengumpulkan ‘nyawa’. ๐
SukaSuka
Walah ya bubarrr… ๐ ๐ ๐
SukaDisukai oleh 1 orang
Sial,,, ha ha ha
Kenangan indah yang tak bisa dikenang
SukaDisukai oleh 1 orang
Sialnya jadi double, Moms. ๐
SukaDisukai oleh 1 orang