Sejarah suatu bangsa seharusnya tidak hanya mencatatkan nama-nama pejuang, aktor intelektual atau juga para ilmuwan. Salah satu indikator kemajuan suatu bangsa juga dilihat dari karya seni para senimannya.
Beberapa di bawah ini adalah nama-nama seniman yang namanya sempat diupayakan untuk hilang dari sejarah.
- Pramoedya Ananta Toer
Kalau saja orde baru tidak pernah jatuh dan berganti, kita sepertinya tidak akan mendengar nama hebat ini seperti sekarang.
Orangnya disekap, karya-karyanya diberangus dan diskusi-diskusi mengenai karyanya dilarang. Pramoedya Ananta Toer adalah nama yang “haram” untuk di-perbincangkan pada zaman orde baru.
” Hanya satu negara besar yang tak mengajarkan karya Pramoedya ke siswanya: Indonesia.” Ucap Max Lane, orang yang pertama menterjemahkan tetralogi Pulau Buru ke dalam bahasa Inggris.
- Bachtiar Siagian
Ia meninggal pada tanggal 19 maret 2002. Tidak ada media yang menulis, tidak ada orang yang mengingat kecuali sanak saudaranya sendiri.
Padahal beliau merupakan salah satu maestro dalam dunia layar lebar kita. Bahkan Umar Ismail, bapak film Indonesia menyanjung tinggi kemampuan sutradara kawakan ini.
Ia berhasil menyutradarai belasan film kondang di era 50 sampai 60an. Namun setelah tahun 65, hampir semua filmnya dihancurkan. Padahal salah satu filmnya yang berjudul Turang, menerima 5 penghargaan pada festival film Indonesia tahun 1960.
- Amrus Natalsya
Seorang seniman seni rupa, seorang pematung dan juga pelukis. Sama seperti kedua seniman sebelumnya, karya-karyanya juga bisa dibilang habis karena hangus dibakar.
Juga sempat ikut ditangkap pada tahun 1965 sampai 1973 tanpa putusan pengadilan. Selama era presiden Suharto bisa dibilang ia dilarang untuk kembali berkarya. Barulah pada orde reformasi ini, ia kembali berkarya walau namanya sudah dilupakan oleh semua.
Padahal Amrus di-akui sebagai salah satu seniman terbaik Indonesia oleh banyak kurator seni.
***
Alasan ketiganya mendapat perlakuan seperti itu adalah tidak lain tidak bukan karena disangkakan terlibat dengan gerakan 30 September 1965.
Ketiganya merupakan seniman Lekra, lembaga seni yang didirikan oleh DN Aidit. Setelah “malam berdarah” itu, siapapun yang pernah berafiliasi dengan PKI akan dianggap sebagai komunis yang pada akhirnya dituduh terlibat dengan G 30S PKI.
Seniman adalah corong-corong suara rakyat. Maka tidak heran bila dalam sebuah rezim kediktatoran, para seniman akan di-stir dan dipantau oleh para penguasa. Kalau menolak atau membuat sang diktator gerah maka akan dianggap sebagai “musuh” negara.
Menghapus nama dan identitas seorang seniman dari sejarah merupakan hal yang relatif mudah. Hancurkan saja semua karya mereka kemudian larang mereka untuk kembali berkarya. Karena sejatinya identitas seorang seniman ada pada karya-karya mereka.
Bahan bacaan:
Max Lane: Kenapa Indonesia Takut Ajarkan Pramoedya di Sekolah?
Amrus Natalsya : Membangun Seni untuk Rakyat
https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20170929/Bachtiar-Siagian-Sutradara-Kiri-yang-Terlupakan/
Penghilangan-penghilangan itu sepertinya bisa terlihat dari kondisi saat ini. Kanan dan kiri sudah sangat tidak imbang…
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya malah bingung sekarang. Mana yang kanan dan mana yang kiri?
SukaSuka
Aku bahkan baru tau tentang Bachtiar dan Amrus setelah baca artikel ini.
Thanks sdh berbagi
SukaDisukai oleh 1 orang
Masih banyak sebenarnya Moms seniman lekra yang ‘hilang’. Tapi ya begitu lah. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
“Seniman adalah corong-corong suara rakyat”.
SukaDisukai oleh 2 orang