Cinta, Kami Minta Puisi yang Baru

Mengapa harus lari ke hutan lalu ke pantai? Jika antartika saja bisa dijelajahi lewat layar 8 inci.

Mengapa juga harus pecahkan gelasnya biar ramai? Hanya lewat tagar, kini semua bisa kok membuat gaduh.

Puisimu sudah tidak valid lagi, Cinta. Bisa buatkan kami puisi yang baru?

Alangkah indah bila puisi tersebut, bisa terus sejalan jaman, tanpa perlu evaluasi apalagi revisi. Karena toh, rasa-rasanya kita belum siap beranjak dari situ. Tapi sayang, waktu memang tak mungkin menunggu.

Jaman ini rumit. Argumentasi minim uji, kadang malah jadi pagu sebuah instruksi. Ditambah dengan gersangnya literasi, yang terus disalip oleh kemutakhiran teknologi.

Ruwet, lebih-lebih dari balada segitiga antara Cleopatra, Julius Caesar dan Marc Anthony.

Terdistraksi oleh teori, padahal nyawa bukan hanya sekedar angka. Berdiskusi dengan intrik tapi enggan berelaborasi. Kajian ilmiah sih, sudah pasti disikut habis oleh gimik yang laris tanpa henti.

Ada juga yang doyan ber-logical fallacy. Dan sialnya, tidak sedikit yang hobby bermain dengan situasi reaksi. Malah ada yang terus non-stop bersuara, padahal membaca beberapa paragraph di bawah judul pun, bukan hal yang primer baginya.

Kemarin, pada sekitaran petang, ada seorang utusan dari planet Namec yang sempat singgah dan bertanya, akhirnya si Doel sama siapa?

15 Comments Add yours

Tinggalkan komentar